“Roda itu masih terus berputar dan hanya
orang dungu yang akan mencoba meramalkan di mana roda itu akan berhenti.”
AFIF sedang membaca bagian akhir buku
karangan Mark Sommer, Hidup Dalam
Kebebasan*,
ketika azan ashar berkumandang. Diletakkannya buku itu di atas meja kemudian
bergegas menuju masjid memenuhi panggilan azan. Hampir saja ia lupa kalau hari
ini ada jadwal liqa’ di tempat kost
Budi, teman kuliahnya.
* * *
“Baiklah,
jika sudah tidak ada pertanyaan mari kita tutup pertemuan hari ini dengan
membaca do’a kaffaratul majlis”, kak
Abi mengakhiri materinya sore itu.
Afif
memejamkan mata, berdoa mengharap rahmat dan memohon ampunan atas kelalaiannya.
Sebenarnya ia tadi tidak terlalu menyimak apa yang disampaikan oleh kak Abi,
pikirannya melayang kemana-mana. Ia hanya berharap semoga dengan doa itu Allah
akan mengampuni dan tetap memberinya pahala kebaikan, begitu yang pernah dibacanya
tentang keutamaan menghadiri majelis ilmu.
“Silahkan kumpulkan lembar evaluasi harian antum!”, suara kak Abi menyadarkan Afif
dari lamunan. Dengan malu-malu ia serahkan lembaran tabel yang lebih banyak
berisi tanda silang (X), jangankan qiyamul lail, puasa sunat atau hapalan,
bacaan quran_nya pun jauh dari memenuhi target. Satu-satunya yang agak lumayan
hanya pada item sholat duha.
“Akh Afif masih suka begadang dan
merokok?”, kak Abi bertanya sambil tersenyum setelah memperhatikan lembaran
yang diserahkan Afif.
Afif
hanya menunduk, ia sama sekali tidak berani menjawab. Ia memang satu-satunya
anggota halaqah yang ahli hisab.
“Cobalah
untuk berhenti, tidak baik!”
“Iya,
kak. Insya Allah.”
* * *
Lembar
pertama notes di tangan kiriku baru
terisi setengah halaman saat sebuah ringtone
menghentikan imajinasiku. Kuselipkan kait pulpen ke sisi atas notes kemudian kumasukkan kembali ke
saku belakang jeans yang ku pakai.
Jempolku segera menekan sebuah tombol untuk menjawab panggilan.
“Assalamu alaikum.”
“Alaikumussalam. Lagi ngapain, mas?”,
suara di ujung sana
menjawab salamku.
“Di
dermaga, nyore.”
“Asik,
dong!. Cari inspirasi ya?”
“Iya,
nih. Tapi mentok terus.”
“Sabar
ya, mas. Jangan putus asa!”
“Iya,
insya Allah. Udah pulang kerja?”
“Belum,
masih di kantor. Ini lagi siap-siap mau pulang.”
“Ooo..
ya udah, hati-hati ya.”
“Iya,
makasih, mas. Aku pulang duluan ya, assalamu
alaikum.”
“Wa alaikumussalam” , kumasukkan kembali
ponsel ke dalam saku baju setelah terdengar nada telepon ditutup.
Hari
semakin sore, dermaga semakin ramai oleh pengunjung. Beberapa pasang remaja
tampak asik mengobrol di atas motor mereka, anak-anak mengerubungi penjual
jajanan ditemani ibunya. Dua orang laki-laki di ujung sana khusu’
dengan kail dan pancing mereka, tidak peduli dengan suara tangis anak kecil
yang merengek minta dibelikan makanan, atau boleh jadi hal itu disebabkan oleh
bisingnya suara mesin perahu motor yang terdengar seperti terompet tahun baru
karena dipaksa meminum minyak tanah, itu pun kadang sulit mendapatkannya.
Orang-orang
semakin banyak, perahu-perahu motor mulai berangkat melaut, anak-anak menyerbu
penjual bakso diiringi kerut kening ibunya. Matahari semakin menunduk. Langit
perlahan menjadi merah saga.
*Mark Sommer, Living in Freedom: the exhilaration and anguish of Prague ’s second spring.
Edisi Indonesia
diterbitkan olehYOI, 1994
baca cerita lainnya: TARIAN OMBAK