(silahkan klik DISINI untuk membaca bagian pertama)
bagian LIMA
Afif
berdiri tegak di atas sebuah batu besar membelakangi sebuah gubuk yang terlihat begitu sederhana dan kesepian. Pandangannya lurus ke
arah samudera seakan-akan ingin menyelami kedalamannya.
Debur ombak terdengar sayup dari laut di bawah sana , seperti doa seorang istri untuk suaminya yang merantau di seberang pulau. Nun jauh disana, pada batas langit, sebuah pulau kecil muncul ke permukaan seolah kehabisan napas, sementara bagian
tubuh di bawah leher bersembunyi di bawah horison
yang membelah dunia menjadi dua; air dan udara, hitam dan putih, misteri
yang bergejolak dan kedamaian. Diatasnya, gumpalan awan tipis seperti menggambarkan angan
dan impian.
Sepasang
tupai berkejaran melompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Suara mereka
begitu riuh seperti teriakan anak-anak kecil yang berebut bola di pasir pantai, saling bersaing menjebol gawang untuk memenangkan pertandingan.
“Kau
sudah bangun, nak?” Pak Bahri muncul dari arah belakang gubuk sambil menenteng
singkong yang masih terbungkus tanah basah.
Dengan
satu lompatan Afif turun dari batu besar tempat ia tenggelam dalam lamunan.
“Selamat
pagi. Pak. Udara di sini segar sekali.”
Pak
Bahri tersenyum kemudian berjalan menuju
gentong air yang ada di depan gubuk untuk mencuci kaki dan membersihkan
singkong yang tadi dibawanya.
“Maaf
ya, pak. Saya bangun kesiangan.”
“Tidak
apa-apa. Bapak memang sengaja tidak membangunkanmu, bapak tidak tega waktu
melihat nak Afif tidur begitu lelap.”
* * *
“Maaf
ya, pak. Apa bapak tinggal seorang diri di tempat ini”, Afif bertanya sambil
mencomot sepotong singkong rebus yang tersuguh di hadapannya. Dua cangkir kopi
ikut menemani mereka mengobrol.
“Benar,
nak. Bapak memang tinggal sendirian, istri bapak sudah lama meninggal dunia.”
Pak Bahri diam menatap langit-langit, pikirannya menerawang jauh. Asap rokok
jagung mengepul dari mulutnya, ia seperti ingin melepaskan segalanya.
“Maaf,
pak. Saya tidak bermaksud…”
“Sudahlah.
Tidak apa-apa. Bapak hanya teringat masa lalu. Nak Afif sendiri kenapa bisa
sampai di pantai ini?”
“Cuma
jalan-jalan kok, pak. Kebetulan saat ini kuliah sedang liburan semester.
Dan biasanya setiap kali liburan saya
selalu pergi menyusuri sungai, pantai atau mendaki gunung.”
“Lho,
di kota kan
banyak tempat hiburan! Kenapa nak Afif justru pergi ke tempat-tempat sepi
seperti itu?”
“Hanya
mencari suasana baru, pak. Saya jenuh dengan kehidupan kota . Di tempat sepi seperti ini saya
menemukan sesuatu yang berbeda, tenang dan damai.”
“Bapak
tahu, bukan hanya itu alasan ‘mu mendatangi tempat-tempat serti yang kau ceritakan.”
Afif
menunduk malu mendengar ucapan laki-laki itu, kembali tangannya mengambil
sepotong singkong. Memang tidak ada gunanya berhohong di hadapan orang tua
seperti pak Bahri.
“Boleh
saya minta rokoknya, pak?”
“Oh
silahkan! Bapak pikir nak Afif tidak merokok.”
“Hanya
sesekali kok, pak. Sekedar teman berpikir.”
“Wah!,
rupanya bapak berhadapan dengan seorang pujangga.”
“Bapak,
bisa saja!”
Suasana
sedikit mencair oleh gurauan pak Bahri. Setelah beberapa saat keduanya diam,
laki-laki itu kembali bertanya, “Apa sebenarnya yang kau pikirkan, anakku?”.
“Entahlah,
pak. Saya tidak tahu pasti. Saya hanya sering merasa jenuh, merasa seperti
sendirian.”
Afif
menghembuskan nafas berat sebelum meneruskan ucapannya, “Saya benci dengan ketidakadilan! Saya
jengkel dengan segala kebobrokan yang sering saya saksikan! Saya bosan dengan
segala ajaran tentang moral dan nilai-nilai kehidupan, karena pada kenyataannya
mereka yang selalu bicara tentang itu justru melanggarnya!”.
Laki-laki
itu terkejut mendengar ucapan pemuda yang duduk di hadapanya, deras mengalir seperti air
bah. Terlebih saat mendengar ia mendengus seperti merasa puas setelah
mengeluarkan segala yang tersumbat di otaknya.
“Kau
masih muda, nak. Masih sangat idealis”
“Kadang
saya berpikir Tuhan tidak adil…”, ucap Afif pelan nyaris tak terdengar.
“Ahh.
Jangan berkata seperti itu, nak!”
“Coba
bapak pikir, di luar sana
orang-orang yang memegang teguh nilai-nilai moral justru banyak yang hidup
susah, di sisi lain mereka yang tidak berpikir bahkan tidak peduli dengan
nilai-nilai kebenaran justru hidupnya makmur. Bukankah itu tidak adil? Belum
lagi mereka yang selalu bicara tentang nilai-nilai justru sering melakukan
perbuatan yang bertolak belakang dengan apa yang mereka ucapkan.”
“Anakku…
Kita tidak tahu rahasia apa yang ada di balik semua ini. Apakah kita tahu
mereka yang susah itu justru bahagia menjalaninya? Sebaliknya benarkah mereka
yang kelihatan makmur itu hidupnya tenang dan bahagia? Percayalah semua pasti
ada hikmahnya. Ingatlah, semua perbuatan pasti mendapat balasan, baik sekarang
atau nanti.”
“Itulah
pak, kenapa saya sering pergi menyepi, mencoba mencari ketenangan dengan
melakukan perjalanan ke tempat-tempat seperti ini. Saya tidak tahu harus
bagaimana.”
“Kenapa
nak Afif ingin lari dari semua itu? Lari tidak menyelesaikan masalah!, anakku.
Semua yang kau lihat adalah bagian dari kehidupan.”
“Tapi,
pak!”
“Bapak
tidak menyalahkan ‘mu, karena memang di tempat sunyi sperti ini kita bisa
berpikir dan merenung. Tapi kau tidak bisa selamanya seperti itu. Kau masih
muda, nak. Masih punya semangat dan tenaga. Jangan kau sia-siakan potensi itu
dengan lari! Kau laki-laki! Hadapi dan jalani semua itu dengan tegar! Ingatlah
sekecil apa pun yang kita lakukan pasti ada manfaatnya untuk dirimu sendiri
atau bisa jadi justru bermanfaat untuk orang lain. Mungkin saat ini kau
beranggapan bahwa hal itu tidak akan ada gunanya, tapi setidaknya kau telah
melakukan sesuatu yang baik sesuai dengan apa yang kau yakini. Satu hal lagi,
coba kau pikir apa yang akan terjadi seandainya semua orang berpikir dan
memutuskan untuk lari seperti yang kau lakukan?, tentu kehidupan tidak akan
pernah mengalami perbaikan.”
Pak
Bahri menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian meneruskan ucapannya, “Anakku,
hidup ini sudah diatur dengan penuh keseimbangan. Ada penjahat ada para penegak hukum, ada
pendeta atau ulama yang berkewajiban memberikan pencerahan kepada mereka yang
tersesat. Begitu pula dengan orang-orang terpelajar seperti dirimu, juga harus
berperan mengingatkan mereka-mereka yang lupa. Jadi sebenarnya setiap orang
punya peran masing-masing yang menyebabkan kehidupan ini tetap bergerak dan
seimbang. Yang seharusnya kita pikirkan adalah di sisi mana kita berperan, sisi
baik ataukah jahat!. Sekali lagi jangan lari! Kau masih muda!”.
Afif
terdiam mencoba mencerna semua yang diucapkan laki-laki di hadapannya.
Sebenarnya sudah terlalu sering ia membaca dan mendengar ucapan klise seperti itu. Hanya saja entah
kenapa saat pak Bahri yang menyampaikannya ia merasakan sesuatu yang berbeda.
Bisa jadi karena cara hidupnya yang sederhana sehingga kata-kata yang meluncur
dari mulutnya ia terasa lebih alami dan apa adanya.
Kopi
di dalam gelas tinggal sedikit, itu pun telah sejak tadi dingin. Matahari mulai
meninggi. Asap rokok pak Bahri membubung tinggi mencari jejak bersama angin.
Ombak masih berdebur lirih.
* * *
“Saya
mohon pamit, pak. Terima kasih atas segalanya.”
“Sudahlah.
Bapak justru senang bertemu denganmu. Berhati-hatilah! Semoga nak Afif
menemukan apa yang kau cari selama ini.”
“Iya,
pak. Sekali lagi terima kasih.” Afif menyalami laki-laki di depannya dengan
hangat.
Dengan
langkah ringan Afif menuruni bukit menyusuri jalan setapak yang biasa dilewati
pak Bahri. Sesekali bibirnya secara spontan mengeluarkan siulan menirukan kicau
burung yang bersembunyi di dahan ketapang atau waru laut yang banyak tumbuh di
bukit itu. Hari ini ia seperti memperoleh semangat baru, sesuatu yang telah
lama terpendam di lubuk hatinya kini lepas keluar setelah sekian lama tertekan
oleh berbagai perang pemikiran. Ia begitu lega setelah mengeluarkan semua
unek-uneknya kepada orang tua itu. Sebuah semangat untuk terus bertahan, meski
ia akan terus berbicara kepada alam, kepada hati nuraninya. Ia bertekad untuk
tetap menjaring ombak meski hanya buih yang ia dapatkan.
Ia
berdiri tegak di kaki bukit memandang lautan, mencoba mencapai ujung dunia.
Suara ombak memecah pantai menyambut kehadirannya. Air laut menyeret pasir
menimbulkan jejak yang tidak pernah berumur lama.
Di
atas air, sebuah kelapa diam pasrah diombang-ambingkan ombak menunggu di
daratan mana ia akan didamparkan. Bisa jadi terlempar kembali di daratan ini
atau mungkin akan terus terombang-ambing sampai suatu masa takdir memaksanya
mendarat di sebuah pulau. Entah di mana dan bilakah masanya…
baca cerita lainnya: TARIAN OMBAK