(silahkan klik DISINI untuk membaca bagian pertama)
14
Sambil menguap
John memeriksa arlojinya.
Hmm.. hampir
enam jam! Sebaiknya aku mampir dulu membeli sedikit makanan, toh rumah bibi
Anne tidak sampai sepuluh menit lagi dari sini.
John merubah
posisi sandaran kursi, meregangkan tangannya melewati kepala. Otot-ototnya
terasa begitu kaku setelah menempuh perjalanan sejauh hampir 343 mil.
Seorang wanita gemuk dengan kaca mata tebal tersenyum ramah begitu John meletakkan belanjaannya di meja kasir.
“Perjalanan
jauh?”
“Benar. New York . Bagaimana anda
tahu?”
“Wajah anda
terlihat begitu lelah, dan tentu saja saya hapal dengan semua pelanggan toko
ini.”
John mencoba balas
tersenyum, “Ternyata anda cukup perhatian dengan pengunjung toko anda, ya?”.
“Boleh tahu
kemana tujuan anda, sir?”
“Butterfield.”
“oh, Danau.
Sudah lama saya tidak ke sana .
Hmm… laki-laki seusia anda menempuh perjalanan sejauh ini sendirian, tentu
bukan untuk berlibur bukan?.”
“Mengunjungi
famili”, John menjawab singkat.
“Baiklah, ini
uang kembalian anda. semoga perjalanan anda menyenangkan. Terima kasih..”
John mengangguk
dan meraih uang kembalian yang disodorkan wanita itu.
“Betty!”
John berhenti
melangkah, membalikkan tubuhnya.
“sorry?”
“Nama saya
Betty. Mungkin satu saat anda mampir lagi di sini sebelum kembali ke New York .”
“Ooowch… terima
kasih… my name’s John!.” John
memperkenalkan diri sebelum berbalik pergi.
* * *
Jajaran pohon-pohon besar di
kiri kanan jalan sedikit menyejukkan matanya yang sejak tadi benar-benar terasa
berat. John membuka lebar-lebar kaca jendela mobilnya. Dihirupnya napas
dalam-dalam, menikmati sejuknya udara yang menerobos dengan cepat ke dalam
paru-parunya.
Suara khas dari batu kerikil
yang terlindas roda mobil seperti mengucapkan selamat datang kepadanya begitu
mobil John melintasi jalan masuk menuju rumah kayu itu.
Masih seperti dulu. Tidak
ada yang berubah dengan rumah ini!.
Baru saja ia mematikan mesin
mobil, seorang laki-laki bertubuh gemuk berusia tiga puluhan tahun muncul dari
balik pintu dan melambaikan tangannya.
“Hi! John. Bagaimana
kabarmu?. Wah, kau semakin subur saja!”.
Eddy menepuk perut John kemudian merangkulnya.
“Hahaha… Ini belum seberapa,
Ed. Tidak lama lagi aku akan sanggup membuatmu terjengkang!”. John balas
memeluk tubuh besar Eddy.
“Ayo kita masuk. Ibu ada di
teras belakang.”
John mengikuti Eddy memasuki
rumah. Rasa rindu yang begitu menyesakkan langsung memenuhi dadanya begitu ia
memasuki bagian dalam rumah. Masih teringat jelas dalam benaknya lima tahun yang lalu ia
dan Karen menghabiskan liburan musim panas mereka di sini, merayakan
pertunangan mereka.
“Bibi…”
Perempuan tua dengan rambut
panjang yang telah memutih seluruhnya itu menoleh dan menatap lekat pria yang
berdiri di hadapannya.
“John…?”.
Ia meletakkan tongkatnya,
mencoba bangkit menyambut. Tapi John segera mendahului memeluknya.
“Kau banyak berubah sayang.
Bibi hampir saja tidak mengenalimu!”, dengan lembut tangannya mengusap rambut
panjang laki-laki di depannya.
“Bibi baik-baik saja, kan ?. Maaf aku lama
tidak mengunjungi bibi.”
“Seperti yang kau lihat,
nak. Bibi semakin tua.”
“Ah, bibi masih tetap
cantik, kok!”. Dengan lembut John merapihkan baju hangat yang dipakai wanita
itu.
Bibi Anne tertawa kecil
mendengar gurauan yang dilontarkan John. “Bibi senang sekali kau datang. Hmm…
kau sekarang terlihat dewasa, nak.”
“Tua, maksud bibi? Hahaha…”
Bibi Anne ikut tertawa.
Sejenak ia terlupa dengan rasa sepi dan sakit yang dideritanya.
“Kau semakin mirip dengan
ayahmu…”
“Ayah?”
Bibi Anne terdiam.
“Ah, lupakan!. Biarkan bibi
menikmati pertemuan ini dulu!. Ed…, lekas buatkan teh untuk saudaramu!”
Eddy yang sejak tadi hanya
diam menyaksikan mengangguk kemudian segera menyeret tubuh besarnya ke dapur.
* * *
baca cerita lainnya: MENJARING BUIH