(silahkan klik DISINI untuk membaca bagian pertama)
12
John menarik tubuhnya sedikit ke belakang, menempelkan
punggungnya, menjadikan pinggiran bath tub sebagai bantal. Ia ingin
beristirahat sejenak dan melupakan segalanya.
Air hangat yang merendam tubuhnya
perlahan melemaskan kembali otot-otot persendiannya, merelaksasi pikiran lalu sedikit
demi sedikit semakin membuatnya terlena, tenggelam ke dalam sebuah mimpi
panjang.
Suara derap kaki-kaki kuda, derit
roda-roda karavan, juga tangisan bayi
dalam gendongan ibunya, seperti saling berlomba menjadi sebuah simfoni sebagai
musik pengantar perjalanan panjang dari rombongan besar itu.
Matahari semakin menghilang, langit
perlahan menghitam. Seekor kuda tampak berlari cepat membelah padang rumput, mencoba mengejar rombongan
yang semakin samar di kejauhan.
John menggebrakkan kakinya,
memberi isarat kepada kuda coklat yang
ia tunggangi agar lebih cepat berlari. Diawali sebuah ringkikan kuda itu
melesat menembus angin, mengejar titik-titik api di kejauhan.
Di atas pelana John terus berharap
cemas, sesekali ia mengerjapkan matanya yang mulai terasa perih diterpa angin.
Rambut panjangnya berkibar riap-riapan di terjang angin.
Semoga aku bisa mengejar
rombongan itu sebelum mereka menghilang ke dalam hutan!.
Langit semakin pekat, gelap telah
menyelimuti hutan. Rombongan itu serentak berhenti begitu sebuah teriakan panjang
terdengar dari bagian depan. Rupanya suara itu adalah sebuah isarat dari pimpinan
mereka agar rombongan berhenti untuk bermalam di tempat itu.
John terus memacu kudanya,
berusaha mengejar rombongan yang telah menghilang kedalam hutan. Tiba-tiba kuda
yang ia tunggangi mengangkat tinggi-tinggi kaki depannya sambil meringkik
keras, melemparkan John dari atas punggungnya. Sebuah lontaran batu dari arah
kegelapan telah mengenai bagian depan tubuh kuda itu.
Tubuh John melayang di udara lalu
jatuh dengan keras di tanah. John menggerak-gerakkan kepalanya, mencoba
memahami apa yang terjadi. Begitu ia membuka mata di hadapannya telah berdiri
tiga laki-laki dengan senjata terhunus.
“Siapa kau? Kenapa membuntuti
kami!”, bentak laki-laki yang berdiri paling tengah.
“John… aku John”, jawab John
sambil meringis menahan sakit.
“Katakan apa tujuanmu mengikuti
kami!”, masih dengan tatapan tajam laki-laki tadi kembali bertanya.
“Aku… aku ingin menyusul kedua
orang tuaku”
Ketiga laki-laki itu saling
berpandangan. Laki-laki yang sejak tadi bertanya kembali buka suara, tampaknya
ia adalah pimpinan mereka, “Orang tuamu? Maksudmu ayah dan ibumu ada dalam
rombongan kami?”.
“Aku… aku tidak tahu pasti. Aku
hanya mengikuti kata hatiku”.
John mencoba berdiri. Dengan
sigap ketiga laki-laki itu menghunuskan senjatanya.
“Ayo bangun! Kau harus ikut kami
menghadap ketua!. Ingat… jangan coba berbuat macam-macam!”.
Kedua laki-laki yang sejak tadi
diam mendorong tubuh John dengan kasar,
menggiringnya agar mengikuti laki-laki pertama yang melangkah cepat ke balik
pepohonan.
Kriiiiiiiiiiing!.
John tersentak bangun dari tidurnya. Dikerjap-kerjapkan
kedua matanya, mencoba mengingat kembali tentang keberadaannya. Ia meraba
pelipis kanannya yang masih terasa nyeri karena terbentur pinggiran bak mandi
sebagai reflek tubuhnya saat terjatuh dari kuda dalam mimpinya.
Telepon kembali berdering. John menyambar
handuk dan segera keluar dari dalam bak mandi.
“Ya, hello!”, sapa John sambil
mengeringkan rambut.
“Hi, John. Ini Eddy!”
“Oh, Ed… ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya butuh teman
bicara”, jawab Eddy pelan sambil memasukkan dua batang kayu ke dalam tungku
perapian.
“Ed… kau baik-baik saja, kan ?”
“Ya, ya. Aku tidak apa-apa”.
“Bagaimana jika kau ke New York saja?”
“Tidak, John. Aku masih ingin di sini”, jawab
Eddy cepat.
“Ya sudah kalau begitu. Mungkin nanti setelah
urusanku selesai aku akan menjengukmu di sana .”
“Thanks, John. Maaf aku telah
mengganggumu.”
“Jangan berkata begitu. Kita kan bersaudara!. Oke,
Ed… jaga dirimu, ya.”
“Iya, John. Terima kasih. Bye!”, Eddy
menutup teleponnya.
John menatap foto bibi Anne yang tergantung
di dinding kayu. Pikirannya melayang jauh ke Butterfield.
“Panggil
aku bibi Anne, ya!”
John masih duduk memandangi
kerlap-kerlip lampu di kejauhan. Ingatannya melayang ke masa kecil, kepada
seorang wanita muda yang selalu mengunjunginya dipanti dan tidak pernah lupa membawa
buah-buahan dan berbagai hadiah untuknya.
* * *
... bersambung ...
baca cerita lainnya: MENJARING BUIH