(silahkan klik DISINI untuk membaca bagian pertama)
SEMBILAN
Titik
kursor terus berkedipseperti tak
sabar menjadi kata. Layar monitor sesekali bergerak naik turun terkena pengaruh
gelombang radio dari ponsel yang
menerima beberapa pesan masuk. Ah, ia tidak pernah jenuh memberi dorongan dan
semangat kepadaku.
Kursor masih setia berkedip terus
menanti kata. Ku seruput kembali kopi
dingin yang tinggal sedikit, ini adalah gelas kedua. Kali ini aku benar-benar
kehilangan ide. Pasar, kuburan, berita bahkan yoga tetap tidak mampu melahirkan cerita. Sebenarnya aku ingin
berhenti saja namun pesan-pesan itu selalu bisa men_charge kembali semangatku.
Mungkin
sebaiknya kubuat saja sebuah kisah pertemuan Afif dengan seoarang gadis cantik
berjilbab, temannya sesama aktifis masjid kampus dulu. Lalu akan kujadikan
kisah cinta berliku dengan bumbu-bumbu romantis dan perseteruan, sayangnya
sudah terlalu banyak kisah seperti ini diterbitkan.
Aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi padahal sudah seminggu ini setiap sore aku selalu dudukberjam-jam di dermaga namun tetap saja notes kesil yang kubawa tidak pernah terisi. Aku bukan hanya tidak sanggup mencari konsep cerita, tidak hanya itu tapi lebih disebabkan rasa bingung yang selalu datang menyerang karena otakku sibuk memikirkan cara meyakinkan dia, gadis yang selalu memotifasiku untuk untuk terus menulis dan menyelesaikan cerita ini, bahwa aku benar-benar ingin menikahinya.
Aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi padahal sudah seminggu ini setiap sore aku selalu dudukberjam-jam di dermaga namun tetap saja notes kesil yang kubawa tidak pernah terisi. Aku bukan hanya tidak sanggup mencari konsep cerita, tidak hanya itu tapi lebih disebabkan rasa bingung yang selalu datang menyerang karena otakku sibuk memikirkan cara meyakinkan dia, gadis yang selalu memotifasiku untuk untuk terus menulis dan menyelesaikan cerita ini, bahwa aku benar-benar ingin menikahinya.
Mataku
kembali menatap monitor yang masih menyala. Sejenak jari-jariku menari di atas
tombol keyboard, kuputuskan saja Afif
sang tokoh utama menjadi kaya raya kemudian hidup bahagia dengan gadis
impiannya. Ah, cerita seperti ini tidak akan mampu mempermainkan emosi apalagi
sampai menguras air mata pembaca.
Kursor kembali berjalan mundur merespon
tombol backspace yang kutekan
berkali-kali. Aku kembali sibuk berfikir mungkin akan lebih alami jika kubuat
Afif mati gantung diri karena tidak tahan menanggung beban hidupnya. Tapi
tidak!, aku jadi takut akan akhir hidupku sendiri.
Kutinggalkan
komputer kemudian melangkah keluar kamar, aku butuh kopi lagi. Di ruang tengah
kulihat ibu sedang menonton televisi dengan penuh ekspresi. Aku tersenyum
menyaksikan kerut di kening ibu, ia tidak mampu menahan emosi mengikuti kisah
persekongkolan jahat seorang istri muda dan anak gadisnya. Dengan gemas ibu
memencet remote memindah channel, kali ini sebuah sinetron
tentang anak gadis yang dijadikan pembantu oleh ibu dan saudara tirinya.
Kutinggalkan
ibu yang kian sewot menyuarakan kegeramannya. Kubaca kembali tulisan yang
kubuat seminggu yang lalu, sebuah cerita yang sebenarnya mewakili perasaanku
sendiri.
.. bersambung ...
baca cerita lainnya: TARIAN OMBAK