(silahkan klik DISINI untuk membaca bagian pertama)
bagian ENAM
DERETAN mobil memenuhi areal parkir gedung serba guna
Universitas Lampung. Beberapa gerobak penjual makanan yang berjejer di sisi
timur bangunan dipenuhi para pembeli, mereka adalah teman-teman dan anggota
keluarga dari mahasiswa yang sedang mengikuti upacara wisuda di dalam gedung.
Tepat
jam sebelas siang terdengar suara dari dalam gedung berisi pengumuman bahwa
upacara wisuda telah selesai. Satu persatu para peserta wisuda dan tamu
undangan muncul dari pintu utama. Rona kegembiraan jelas terlihat di wajah
mereka saat menerima ucapan selamat dari teman dan keluarga lain yang sejak
tadi telah jenuh menunggu di luar. Sebagian langsung pergi meninggalkan gedung
sedangkan yang lain kemudian sibuk mencari lokasi yang dianggap bagus di
sekitar gedung untuk berfoto bersama. Ada juga
yang lebih memilih bergaya di samping tanaman hias yang banyak terdapat di
halaman gedung perpustakaan di seberang sana .
* * *
Di
suatu tempat di sebuah wilayah tambak udang milik sebuah perusahaan besar yang
ada di ujung utara Lampung, Afif duduk termenung di atas sebuah tanggul yang
terbuat dari plastik hitam tebal. Ia julurkan kakinya ke dalam air yang
berwarna gelap dan sedikit berbuih. Dari atas ia bisa melihat beberapa ekor
udang berenang atau berjalan merayap di dasar kolam.
Seekor
ular air bergerak cepat berenang di permukaan air mendekati kakinya. Mungkin
ular itu ikut terhisap ketika kemarin saluran inlet dibuka untuk mengisi air ke dalam kolam. Dengan sigap
tangannya segera mengambil sebatang bambu untuk mengangkat ular itu kemudian melemparkannya
ke kanal yang ada di selatan kolam.
Afif
berjalan di atas tanggul meninggalkan tempat duduknya menuju teras rumah yang
berada tepat di antara dua buah kolam. Telah hampir dua jam ia duduk di tanggul
itu. Beberapa saat tadi pikirannya melayang ke Bandar Lampung. Seharusnya hari
ini ia hadir di sana
untuk mengikuti acara wisuda, tapi seminggu yang lalu ia putuskan untuk tidak
hadir dan lebih memilih mengasingkan diri ke tempat ini. Hal itu ia lakukan
bukan karena tidak bersyukur atau menganggap peristiwa ini tidak penting, tapi
lebih disebabkan karena ia memang tidak terlalu suka dengan acara yang bersifat
resmi dan seremoni belaka.
Membayangkan
peristiwa hari ini membuat ia tersenyum teringat ketika dulu saat ia masih
aktif di senat mahasiswa. Biasanya wisudawan dari fakultasnya akan dijemput
dengan kendaraan khusus, becak atau gerobak yang telah dihiasi, menuju aula
fakultas untuk mengikuti acara pelepasan lulusan.
Berbeda
dengan acara wisuda yang diselenggarakan pihak universitas, acara di fakultas didesain
dengan format jauh lebih santai.
Biasanya acara diselingi dengan pentas musik persembahan dari teman-teman
mahasiswa. Di acara ini para wisudawan akan diberi kenang-kenangan khusus,
misalnya berupa topi proyek.
Kenangan
itu membuat ia sejenak melupakan suara air yang timbulkan oleh berputarnya
kincir. Ia menerawang jauh memikirkan langkah selanjutnya setelah selesai
kuliah. Jawa Tengah, di propinsi itulah akan ia kejar cita-cita.
Sengatan
nyamuk rawa mengembalikan ia sepenuhnya ke tempatnya berada. Kepada kincir,
kepada hawa panas menyengat yang terjadi akibat dipantulkannya sinar matahari
oleh air di ribuan tambak.
Seperti
kemarin, hari ini ia duduk berjam-jam lamanya memperhatikan kincir yang ada di
tengah kolam. Entah kenapa ia selalu merasa dibawa pergi jauh mengikuti putaran
itu, bagaikan menaiki sebuah mesin waktu.
Pikirannya
melayang kepada nasib para petani tambak yang telah bertahun-tahun bergelut
dengan dengan keringat namun kehidupan mereka tetap begitu-begitu saja padahal
ekspor perusahaan ini bernilai milyaran rupiah.
Ia
juga teringat cerita temannya yang menjadi buruh pabrik di Jawa Barat sana , katanya setiap tahun
banyak sekali karyawan baru yang datang dari daerah. Bukan lantaran
meningkatnya order tapi lebih disebabkan
karena sistem kontrak yang membuat perusahaan bisa membayar gaji mereka dengan
nilai rendah. Hanya segelintir dari buruh-buruh itu yang bisa naik pada level
atas. Terkadang memang pemilik kapital
tidak terlalu memikirkan kesejahteraan para buruh padahal dari keringat yang
mereka kucurkan itulah perusahaan bisa berproduksi.
Begitulah
selama beberapa hari ini ia selalu duduk memperhatikan kincir yang terus
berputar. Ia seperti menemukan dunia lain saat berlama-lama menatapnya. Ia
seperti menyaksikan sebuah proyektor
yang memutar banyak film dari berbagai sudut pandang. Bahkan terkadang ia
seperti bisa menyaksikan kembali putaran jalan hidupnya.
Seperti
pagi ini, ia diingatkan betapa selama ini ia tidak pernah berpikir tentang jasa
orang lain yang tanpa disadari sebenarnya memiliki peran penting dalam siklus
kehidupan kita. Mereka adalah orang-orang ‘bawah tanah’ yang bekerja secara
‘alami’ dan nyaris tak pernah terpikirkan.
Ia
hanya ingat kalau nasi yang dimakannya setiap hari berasal dari toko, sedangkan
para petani yang sepanjang hari bergelut dengan panas dan keringat di sawah justru
sering kali tidak terbersit dalam pikirannya. Begitu juga dengan para buruh
rendahan yang memproduksi segala yang ia pakai sehari-hari, tidak pernah
terlintas!.
Melalui
putaran-putaran kincir ia seperti membaca ulang segala kejadian yang pernah
dialaminya. Kini ia menyaksikan betapa kincir yang slalu berputar statis itu justru menimbulkan arus air
yang menghasilkan gelembung-gelembung udara yang berperan penting pada siklus kehidupan udang-udang di bawah sana .
* * *
Matahari
sore bersinar keemasan, sinarnya terpantul memenuhi kawasan. Afif berdiri di
atas sebuah jembatan besi yang membentang di atas kanal selebar dua puluh meter_an. Kawasan tambak itu memang luar
biasa luas, bahkan dari tempat ia berdiri sekarang pandangannya tetap saja
tidak mampu mencapai batas kawasan. Di ujung sana hanya tampak kotak-kotak kecil tersusun
rapi membentuk jejaring.
Di
tempat ini kanal berfungsi sebagai
garis batas sekaligus merupakan jalur transportasi utama. Tiap petani tambak
memiliki dua buah kolam udang yang terletak di depan rumah berhadapan langsung
dengan dua kolam milik petani di depannya. Di belakang rumah terdapat sebuah
kanal kecil yang disebut ‘jalur’. Masing-masing jalur membagi sepuluh rumah di
tiap sisinya. Jadi dalam satu jalur terdapat dua puluh rumah atau empat puluh
kolam udang.
Jika
dalam setiap blok terdapat sepuluh
jalur maka tiap blok menghimpun seratus rumah atau dua ratus kolam. Entah
berapa luas kawsan ini jika terdapat puluhan blok di dalamnya. Maka bisa
dibayangkan berapa ribu jumlah kolam dan berapa jumlah produksi tiap siklusnya,
sebuah angka yang luar biasa!. Afif menggaruk kepalanya yang tidak gatal saat
membayangkan jumlah total putaran kincir yang terjadi setiap hari!.
Hari
menjelang magrib, ujung kawasan semakin gelap. Jarak pandangnya kini semakin
dekat. Kincir-kincir terus berputar memastikan sirkulasi air dan udara terus
berjalan. Para petani memasuki rumah mereka
bersiap menjemput malam diiringi sebuah doa, semoga panen kali ini tidak
digagalkan penyakit, berharap negara luar membatalkan embargo dan bersedia membuka keran impor_nya.
Malam
kian larut, petani yang kelelahan tertidur bersama mimpi-mimpi mereka.
Kincir-kincir terus berputar, tak peduli apakah ada yang menghitung jumlah
putarannya, sampai saat nanti air payau membentuk karat dan menghentikn putaran
itu.
* * *
.. bersambung ...
baca cerita lainnya: TARIAN OMBAK