(silahkan klik DISINI untuk membaca bagian pertama)
SEPULUH
Sudah
berhari-hari Afif tidak bisa memejamkan mata, pikirannya begitu gundah. Semua
yang ia kerjakan selalu saja serba salah. Makan, minum, duduk atau berjalan,
bahkan saat malam menjelang sebuah wajah selalu membayangi dan memasuki
mimpi-mimpinya. Seseorang yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam benaknya.
Aisyah, putri bungsu kiayi Somad, teman sepermainannya ketika kecil.
Dua minggu yang lalu saat pulang dari sholat jumat ia melihat sebuah mobil travel diparkir di depan rumah kiayi Somad. Ternyata mobil itu mengantarkan Aisyah yang baru pulang dari mondok di sebuah pesantren terkenal di Jawa Timur.
Seperti malam-malam sebelumnya wajah itu kini kembali hadir. Ia benar-benar tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan, maju salah mundur juga salah. Ingin sekali ia mengikuti kata hatinya untuk memberanikan diri sowan ke rumah kiayi Somad dan melamar gadis itu tapi ia segera disadarkan oleh jurang perbedaan di antara mereka, ibarat bumi dan langit, seperti buih dan lautan. Jangankan untuk menikahi Aisyah yang jadi puteri kesayangan seorang kiayi, untuk makan saja ia harus berpanas-panas seharian, itu pun terpaksa sehemat mungkin karena uang yang ia dapat harus disisihkan untuk melunasi cicilan motor.
Ia benar-benar gundah, belum lagi saat teringat masa lalunya yang penuh pergulatan pemikiran bahkan sampai pernah mempertanyakan keberadaan Tuhan, lalu bagaimana mungkin ia berani bermimpi bisa memiliki gadis solehah itu. Ia seperti sedang terkena penyakit malaria. Pada saat tertentu ia begitu bersemangat menjalani hari dan merangkai mimpi bagai terkena setrum ribuan volt namun detik berikutnya ia langsung drop, seketika impiannya kandas saat ia tersadar akan keadaan dirinya. Jika sudah begitu maka ia hanya sanggup menangis dan mengadu.
Malam ini kesedihannyankian membuncah, ia teringat jauh ke masa-masa kuliah ketika suatu hari kak Abi, murabbi_nya, mengutip sebuah ayat,
“…dan wanita yang baik-baik adalah untuk laki-laki yang baik pula…*”
Dalam kesedihan diambilnya sebuah buku kecil dari tumpukan baju di dalam lemari. Buku itu adalah kumpulan puisi yang ia buat dalam setiap perjalannya. Di sebuah halaman kosong yang kertasnya mulai menguning, dengan jari lemah ia curahkan segalanya,
“Kau…
terlalu indah untuk kujamah…”