(silahkan klik DISINI untuk membaca bagian pertama)
Menjaring Buih (bagian.8)
Wak
Abu memainkan gitar dengan irama musik gambus sambil duduk bersandar di sebuah
tiang. Suara dentingnya seakan tindih menindih dengan debur ombak yang datang
kemudian menghilang. Lagu-lagu cinta, ajaran hidup, nasihat juga kerinduan
silih berganti lahir dari gerak tari jemarinya. Sesekali angin bertiup kencang
menyajikan sebuah interlude yang
menyayat.
“Jadi
apa rencanamu selanjutnya?”, uwak Abu bertanya sambil mendekap gitar di atas
pangkuannya.
“Entahlah,
wak. Saya belum tahu. Saya ingin menenangkan diri dulu.”
Wak
Abu manggut-manggutkemudian kembali memainkan gitarnya. Kali ini Afif ikut
menemaninya bernyanyi.
“…adat rik budaya
suratne ka ga nga
jadi waris kham jama-jama…”
(…adat dan budaya
aksaranya bernama ka ga nga
jadi warisan kita bersama…*)
* * *
Di
pojok selatan komplek pasar sayur, di tengah bau apek yang keluar dari buah dan
sayuran busuk, Afif duduk melamun di atas motor bebeknya. Telah satu jam lebih
ia setia menunggu penumpang yang ingin menggunakan jasa ojeknya. Dengan
setengah putus asa bibirnya menyapa setiap pengunjung pasar yang lewat di
depannya. Sesekali kejengkelannya muncul karena orang yang ditawari bersikap acuh
seperti tidak mendengar ucapannya.
Matahari
semakin tegak di atas kepala menembus langsung ke rongga otak kemudian tembus
sampai kerongkongan yang kini semakin kering karena liur telah lari
menyelamatkan diri melalui pori-pori di punggungnya. Hatinya kian membara
melihat dua rekannya asik mengepulkan asap rokok sambil menghitung lembar uang
ribuan yang sudah lecek dan keriting.
Tanpa
sadar tangannya masuk ke dalam kantung celana meraba-raba berapa lembar uang di
dalamnya yang memang sejak tadi tidak bertambah, ia seperti ingin memastikan
kegelisahannya. Hari hampir separuh tapi baru beberapa lembar saja uang ribuan
yang ia dapat. Hatinya kian terasa sepi sedang pasar semakin ramai.
Menjelang zuhur tiba, warung bakso di seberang jalan kian sesak di serbu
pembeli. Tirai penutup warung itu telah di buka pemiliknya dua hari yang lalu.
Perutnya semakin perih, sumpit-sumpit dan garpu itu seperti menusuk-nusuk
ususnya. Ia semakin mual teringat cicilan kredit motornya yang jatuh tempo
seminggu lagi.
Matahari
kian menyengat hati dan memaksa ia mengumpat saat dua gadis berpakaian ketat
menyenggol motornya, seketika ia ingin meledak ketika mereka hanya nyengir dan berlalu.
Dengan
lemah ia menekan starter motor dan melaju ke arah masjid. Ia hanya ingin
menjerit dan mengadu soal cicilan motor, tentang nasib, tentang arti hidup dan
perjalanannya, wabilkhusus soal
kelajangannya. Ah, ramadhan kali ini benar-benar membuatnya gila.