(silahkan klik DISINI untuk membaca bagian pertama)
17
John menghela napas panjang,
ia kembali teringat cerita bibi Anne ketika menyerahkan kotak itu pagi tadi.
“Ini adalah kotak yang
dititipkan ibumu kepada bibi.”
“Dari ibu?”
“Benar, John. Sebenarnya ada
yang ingin bibi ceritakan…”.
Bibi Anne berhenti bicara.
Ditatapnya John dengan penuh kasih.
“Anakku… Sebenarnya… aku
bukan bibimu…”
“Apa maksud bibi?”, John
menatapnya tak mengerti.
“Benar, nak. Aku sama sekali
tidak punya hubungan darah dengan ibumu!”
“Bibi jangan bercanda!.
Sejak kecil aku telah memanggilmu bibi!”, sergah John.
Dengan halus wanita tua itu
menahan tangan John, mencegahnya berdiri. “Duduklah, nak!. Akan bibi ceritakan
semuanya.”
John kembali duduk,
memandang lekat wajah wanita yang selama ini telah seperti ibu baginya.
“Aku dan ibumu memang sangat
dekat bahkan sudah seperti saudara…”.
Bibi Anne menarik napas
sebelum meneruskan ucapannya, “Kotak ini diserahkan ibumu sebelum ia pergi.
Bibi tidak perlu menceritakan tentang kotak ini karena bibi sendiri tidak tahu
apa isinya. Achhh.. sebaiknya bibi ceritakan saja tentang ibumu.”
“Kita lanjutkan di teras
belakang saja sambil memandangi danau!. Tolong bawakan bibi teh, ya!”.
Kembali John membimbing
wanita tua itu menuju teras di belakang rumah.
“Anakku… bibi sangat
menyayangimu tapi bibi harus menyampaikan hal ini. Tidak ada waktu lagi. Bibi
semakin tua, nak.”
John diam tidak tahu harus
berkata apa. Ia hanya mulai mengerti kenapa Eddy menelponnya.
“Setelah ayahmu menghilang
ibumu harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup kalian. Sejak itu ia
mulai sering sakit-sakitan. Kalau bibi tidak salah saat itu usiamu baru satu
tahun.”
“Kenapa ayah pergi, bi?”
“Bibi tidak tahu pasti, nak.
Bibi hanya tahu ayahmu adalah seorang pemburu yang sering pergi ke hutan. Ia
mendapatkan uang dari hasil menjual kulit binatang buruannya. Mungkin nanti di
dalam kotak itu kau akan bisa menemukan jawabannya.”
Bibi Anne meminta John untuk
mengisi kembali cangkir tehnya.
“Lalu siapa ibu saya, bi?
Kenapa saya tidak pernah bertemu dengannya?”, Tanya John tak sabar.
“Keadaan saat itu menjadi
semakin susah, nak. Karena beban hidup yang semakin berat akhirnya ibumu
terpaksa menyerahkanmu kepada seorang pendeta tua berkebangsaan Perancis.
Pendeta Jogues… kau masih ingat kepada pendeta itu, kan ?”.
John mencoba mengingat-ingat
raut wajah pendeta tua yang disebut bibi Anne.
“Kenapa ibu tidak menitipkan
aku kepada bibi? Kenapa harus kepada orang lain? Kenapa, bi!”
“Tidak mungkin, anakku. Saat
itu bibi adalah seorang gadis yang masih terlalu muda. Lagipula keluarga bibi
juga sama miskinnya dengan kalian.”
“Lalu ibu… Selanjutnya apa
yang terjadi dengan ibu, bi?”
“Setelah mengantarkanmu
kepada pendeta itu ibumu datang menemui bibi. Ia berpesan agar bibi menyerahkan
kotak itu kepadamu kelak setelah kau dewasa. Dia juga meminta bibi agar selalu
menjengukmu ke panti.”
“Lalu…?”
“Kemudian ibumu menyampaikan
tekadnya untuk pergi menyeberang ke Quebec .”
“Quebec ? Untuk apa? Kenapa bibi tidak
menahannya!...”
Melihat wanita tua itu
tertunduk John merendahkan suaranya. “Maafkan aku, bi. Maafkan kekasaranku. Apa
ayah dan ibu tidak memiliki satu pun keluarga? Kenapa aku harus dititipkan
kepada orang lain?”.
Bibi Anne menggeleng lemah.
“Tidak, nak. Tidak ada satu
pun. Ayah dan ibumu adalah pendatang dari wilayah Ontario .”
John terhenyak di kursi
mendengar apa yang baru saja disampaikan bibi Anne.
“John… maafkan bibi, ya.
Bibi terpaksa harus menyampaikan semua ini. Tapi ketahuilah nak… bibi sangat
menyayangimu!”.
- * -
baca cerita lainnya: MENJARING BUIH