(silahkan klik DISINI untuk membaca bagian pertama)
Bag 4
MATAHARI telah condong di sisi barat tapi Afif masih terus
melangkah. Pasir hitam basah itu tak henti menarik kakinya, memaksa ia agar
tidak meneruskan langkah yang memang tak tentu arah. Entah alasan apa yang
membuat ia terus bergulat dengan keletihan itu.
Mentari semakin merebah seperti hendak mencium
lautan. Ia terus berjalan, tidak peduli pada angin yang dengan ganas
melemparkan pasir ke wajahnya. Kain penutup yang ia lilitkan di kepalanya tidak
sanggup membendung sergapan dingin. Keringat bercampur garam kini telah
mengakrabkan rambutnya yang tadi tercerai berai.
Kini
mentari telah menyatu dengan lautan, bersekongkol sembunyi dalam selimut
kegelapan. Langkah-langkah kakinya berlomba dengan desahan angin malam, saling
berkejaran dengan lenguhan ombak yang kadang terdengar seperti mengerang. Ia
terus ke utara, tidak peduli pada segalanya; angin, ombak, rumput juga embun,
hingga lelah menghentikan semua yang ada.
“Ah..
Kau sudah sadar, nak?” Sebuah suara terdengar pelan di telinga Afif yang
menggeliat sadar. “Ini bapak buatkan teh hangat, minumlah dulu!”.
Dengan
gemetar tangannya meraih cangkir kaleng yang disodorkan laki-laki itu. Aroma
teh yang segar serta panas yang menjalar ke tangannya perlahan mulai membuka
ingatannya. Dicobanya untuk duduk namun tenaganya yang lemah memaksanya kembali
rebah.
“Jangan
banyak bergerak dulu!, kau masih lemah.” Dengan lembut laki-laki itu
membetulkan posisi kepala Afif di atas ransel yang dijadikan bantal.
“Bapak
siapa? Saya ada di mana, pak?”
“Nama
bapak, Bahri. Nama anak siapa? Bagaimana bagaimana kisahnya kok bisa pingsan di
pantai ini?”
“Ehh…
Saya Afif, pak.” Afif menjulurkan tangannya menyalami laki-laki yang telah
menolongnya. “Maaf, pak. Saya sampai lupa mengucapkan terima kasih. Bapak
tinggal di sini?”
“Sudahlah,
tidak perlu sungkan!. Bapak tinggal tidak jauh dari sini, itu di atas bukit sana . Setiap malam bapak
memang selalu mencari ikan di sekitar sini.”
Dari
kilatan nyala api sekilas Afif bisa melihat raut wajah laki-laki di hadapannya,
seorang laki-laki tua sederhana. Di sampingnya terlihat teronggok sebuah
keranjang dari anyaman rotan dan sebuah jala tua yang telah menguning.
“Kau
belum bercerita… Ah, tapi sudahlah. Kita bicarakan lain waktu saja”, pak Bahri
mengurungkan pertanyaannya melihat Afif tertunduk.
Afif
tersenyum, ia hanya diam. Sebenarnya ia merasa bingung harus dari mana memulai
cerita, ia sendiri tidak pernah mengerti apa tujuan perjalanannya.
“Ayo
kita makan dulu! Ini ikannya sudah matang. Kebetulan malam ini bapak berhasil
menangkap beberapa ekor ikan.”
“Iya,
pak. Terima kasih.”
Ombak
sesekali berdebur. Angin berhembus pelan. Mereka saling diam menikmati ikan
bakar hangat. Aromanya mengundang dua ekor kepiting kecil keluar dari lubang
persembunyian mereka. Malam semakin larut. Kepiting-kepiting kecil itu kini
berkejaran menyongsong buih meninggalkan tulang-tulang yang tadi mereka seret.
Mereka berayun bersama gelombang kemudian terhempas ke pantai saat ombak besar
datang. Sejenak membalikkan badan lalu kembali berlari menantang gelombang.
* * *
Kusandarkan
pundakku yang kini mulai terasa sakit, aku ingin beristirahat sejenak. Telah
tiga jam aku larut dalam dunia kata-kata. Kopi di hadapanku tinggal ampasnya
saja. Mataku mulai perih akibat terlalu lama menatap layar monitor. Aku ingin
mengobati lelah dengan mengingat seorang gadis di seberang sana .
Perkenalan
kami sebenarnya terjadi secara tidak sengaja. Waktu itu aku iseng masuk ke
sebuah chatroom. Peri hutan, itulah nickname yang ia pakai waktu itu.
Singkat cerita kami pun berkenalan kemudian terlibat dalam sebuah diskusi
hangat tentang berbagai hal. Film, musik, olahraga sampai soal klaim Malaysia terhadap budaya Indonesia . Mungkin karena merasa
cocok akhirnya kami saling bertukar photo dan nomor telepon.
Begitulah,
tanpa kami sadari hubungan itu kian lama kian dekat, dari sekedar teman berubah
menjadi sesuatu yang terasa lain. Dan kami bukanlah dua orang bodoh yang tidak
sadar apa yang terjadi, kami merasa saling membutuhkan. Ya, aku jatuh cinta
kepadanya, sebuah cinta yang memiliki cita-cita.
* * *
... bersambung ...
baca cerita lainnya: TARIAN OMBAK