Bahagia menurut Buya Hamka

Pengantar

Sebuah pertanyaan besar yang sering kita pertanyakan,apakah sebenarnya bahagia itu? Dimanakah letak kebahagiaan itu?
Seringkali kita melihat atau berpikir alangkah bahagianya orang-orang itu, dan bertanya pada diri sendiri kenapa saya tidak bahagia?
Kita mencari pengertian bahagia dari berbagai tulisan, dari buku-buku yang kita anggap penting karangan orang-orang yang tinggi pilsafat, tasauf, dan pengalamannya. Tapi tetap saja kita tidak bahagia, tetap saja kebahagiaan itu tidak kita temukan.

merengut,bahagia,tidak bahagia,HAMKA,islam,pilsafat

Lalu dimanakah sebenarnya letak kebahagiaan itu?


Buya Hamka menulis dalam bukunya “Filsafat Hidup” bahwa sebab-sebab untuk mencapai bahagia itu sebenarnya ada di tangan kita, tetapi kita justru mencari yang ada di tangan orang lain, karena apa-apa yang di tangan orang lain itu kelihatan lebih indah. Padahal segala sesuatu yang ada di dunia ini baik dan buruknya bukanlah terletak pada zat sesuatu itu, tetapi pada penghargaan kita (atasnya). Karena pada hakikatnya segala sesuatu yang ada di alam ini sama saja, yang berbeda atau berubah adalah pendapat orang yang menyelidikinya.

Mungkin inikah sebabnya kenapa bahagia itu tidak pernah kita temukan/dapatkan?

AGAMA, Jalan Paling Ringkas Menuju Bahagia

Kalau kita perhatikan, orang-orang yang kita lihat nampak bahagia itu ternyata orang-orang mempunyai pijakan/dasar kuat tentang jalan hidupnya, mereka mempunyai “way of life” dan mereka itu yakin dan teguh menjalani apa yang menjadi pilihan mereka soal prinsip atau tuntunan hidup tersebut.
Dan memang harus kita akui bahwa Salah satu “way of life” terkuat adalah Agama, mungkin inilah sebabnya kenapa dalam buku ini Buya Hamka berkesimpulan bahwa Agama adalah Jalan Paling Ringkas Menuju Bahagia.

Lebih lanjut Buya Hamka menulis bahwa bahagia itu bisa terwujud jika kita telah bisa memiliki/mencapai urutan:
1.       Iktikad yang bersih
2.       Yakin
3.       Iman
4.       Agama.

Iktikad, bisa diartikan sebagai Keterikatan setelah lepas, yang timbul dari pertimbangan akal pikiran, hasil kesimpulan akal pikiran, bukan lantaran taklid atau ikut-ikutan. Contoh iktikad adalah rasa sesal setelah berbuat salah, penyesalan atas kesalahan menunjukkan bahwa kita faham bahwa hal itu adalah salah dan tidak ingin mengulanginya.

Yakin, adalah tidak ragu-ragu, sesuatu yang didapat setelah dipikirkan/diuji/dicoba dan mendapatkan bukti-bukti yang terang.

Iman, adalah pengakuan keyakinan yang diterjemahkan dengan perbuatan. Perbuatan itulah yang kemudian disebut Islam. Iman ini pada setiap orang akan mengalami fase naik turun, bertambah dan berkurang melalui berbagai ujian-ujian.

Agama, adalah buah dari iktikad, tasdiq, dan iman. Agama mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Kesimpulan

Bahagia menurut Buya Hamka akan tercapai jika: 1. Iman jadi dasarnya, 2. Amal jadi buktinya, 3. Menolong sesama jadi syiarnya, 4. Sabar jadi sandarannya (tafsir Al-baqarah: 177). Dengan ke-empat hal tersebut kita akan tulus menerima dan menjalani segala ketentuan. Orang yang bahagia adalah orang yang sempurna imannya, itulah TAKWA.

(sumber: Falsafah Hidup, HAMKA)

Penutup

(Ini adalah sebuah pertanyaan pribadi saya), kita telah beragama, telah menyatakan beriman, lalu kenapa kita masih belum merasa bahagia? Iman kita yang tidak sempurna? Kita tidak beragama dengan benar? Atau memang ujian hidup dan godaan setan dan nafsu itu demikian luar biasa besar?
Sepertinya alasan terkuat adalah nafsu…

Tidak ada komentar :