TUJUH
“Lusa mas
berangkat ke Pekanbaru”.
“Mas sudah yakin
dengan keputusan itu?. Jauh lho mas, dan katanya biaya hidup di sana lumayan tinggi.”
“Mungkin memang
harus seperti ini. Tidak mungkin mas begini terus.”
“Lalu novelnya
bagaimana?”.
“Kan bisa dikerjakan di sana . Yang penting mas punya pekerjaan tetap.
Jadi nanti kalau ibu bertanya sayang ga’ bingung menjawabnya.”
Nia hanya diam
mendengar jawabanku. Telah cukup lama ia menutupi dan berdalih tiap kali ibunya
bertanya tentang pekerjaanku. Ya, aku hanyalah seorang laki-laki miskin yang
kaya dengan idealisme. Sementara Nia adalah seorang gadis dari keluarga
pengusaha. Aku sendiri tidak tahu penyebab pertengkaran yang selalu terjadi
diantara kami dikarenakan sejak kecil Nia selalu dituruti kemauannya, ataukah memang
karena sifat kerasku akibat idealisme yang tidak pernah tersalurkan.
* * *
DELAPAN
Mike
berdiri dari kursinya begitu melihat John muncul di pintu kafe. Ia segera
melambaikan tangan, memberi isyarat agar John mendatangi mejanya.
“Hi, John! Apa
kabar?”
“Yachh… seperti
yang kamu lihat”. John menyahut pelan kemudian duduk di seberang Mike.
“Kamu tampak
kurus dan pucat sekali”, Mike berkata seolah prihatin. "Kamu ingin pesan
apa?".
John tidak
menyahut, ia lebih tertarik kepada benda-benda yang ada di atas meja. Sebungkus
rokok tergeletak di atas sebuah surat
kabar yang masih terlipat rapih, secangkir cappucino dengan sedikit granula,
dan sebuah piring berisi beberapa lapis roti.
“Terima kasih kamu
mau datang. Ada
sesuatu yang ingin aku bicarakan”.
John diam tak
menjawab.
“John… Kamu
tidak bisa seperti ini terus!. Jika kamu terus begini… Kamu bukan hanya
menyakiti dirimu sendiri tapi juga secara tidak sadar telah menyakiti Karen.”
“Tahu apa kamu
soal Karen!”, tukas John sengit.
“Maaf, John. Aku
tahu dia begitu berarti bagimu. Tapi apa kamu lupa? Bukankah Karen yang
membuatmu menjadi seorang penulis?.”
Mike menarik
napas sebelum meneruskan ucapannya, “Coba lihat dirimu sekarang!. Kamu
sia-siakan usahanya, bahkan kamu lupakan dirimu sendiri!. Apa kamu ingin
membuat dia kecewa? Apa kamu pikir dia akan bahagia jika melihatmu seperti
sekarang ini?”.
John hanya diam
menahan perasaannya. Sebenarnya ia merasa sangat jengkel tapi kali ini ia tak
bisa membantah apa yang baru saja diucapkan Mike. Dialihkan pandangannya,
mengamati beberapa poster yang terpajang di dinding kafe.
Sesaat ia
meneliti wajah-wajah para pengunjung kafe siang itu. Tatapannya berhenti kepada
seorang pemuda yang sejak tadi terus memperhatikan dirinya.
Sadar dirinya diperhatikan,
pemuda itu bangkit dari kursinya kemudian melangkah menuju meja yang ditempati
John dan Mike.
“Maaf, anda John
Quin, kan ?”
John diam
mengawasi sebelum menjawab, “Ya, benar. Apa saya mengenal anda?. Ada yang bisa saya
Bantu?”.
“Dugaan saya ternyata
tidak salah. Maaf tuan, sebenarnya sejak tadi saya ingin mendatangi anda, tapi
saya ragu. Tadi begitu melihat anda, saya langsung teringat dengan foto di
sebuah sampul belakang novel yang pernah saya baca. Apa saya boleh meminta
tanda tangan anda?”.
Beberapa saat
John terdiam sebelum mengangguk mengiyakan.
Dengan gembira
pemuda itu menyerahkan pulpen dan sebuah buku kecil.
“Bisma… my
name’s Bisma.” Si pemuda cepat menjawab melihat John berhenti menulis dan
menatapnya.
“Bisma?”
“Yes, sir.
Bisma.”
“Kelihatannya
anda bukan penduduk sini tuan Bisma. Asia ?”
“Benar tuan. Indonesia .”
“Indonesia …? Bali ?”
“No, sir.
Jogja!”
John mengangguk
pelan.
“Baiklah, saya
akan memberikan tanda tangan saya untuk anda, tuan Bisma.”
Ia segera
menulis sebuah kalimat singkat pada buku yang dipegangnya:
Untuk tuan Bisma, seorang teman dari Indonesia .
-John
Quin-
“Apa yang
membuat anda datang ke Amerika, tuan Bisma?”, tanya John sambil menyerahkan
kembali pulpen dan buku yang telah ditandatanganinya.
“Oh, saya ke
sini untuk menghadiri sebuah seminar. Kebetulan saya diundang sebuah yayasan
sebagai salah satu pembicara di seminar itu.”
“Wah!, Rupanya
anda bukan orang sembarangan, ya.”
“Ah, tuan bisa
saja”.
“Mungkin pada
kesempatan lain kita bisa berbincang-bincang tuan Bisma.”
“Tentu saja, dengan senang hati, tuan. Terima kasih
atas tanda tangannya. Senang sekali bertemu dengan anda!. Permisi!”.
Dengan wajah gembira
pemuda itu menyalami John dan Mike kemudian kembali ke mejanya.
Mike menepuk
bahu John setelah pemuda itu pergi. “Kamu lihat John!. Bahkan karyamu dibaca
sampai di luar negeri!”
John tidak
menyahut, pikirannya justru pergi melayang jauh. Indonesia ?,
Bali ?. Ia ingat dulu Karen pernah membicarakan
keinginannya untuk sekali-kali berlibur ke sana , menikmati ke_eksotisan pulau yang cukup
terkenal itu.
Sementara itu
layar televisi yang tergantung di sudut kafe menampilkan sebuah breaking
news. Seorang pejabat Australia
dengan penuh emosi melontarkan kecaman kepada pemerintah dan aparat Indonesia
yang dinilai terlalu lamban dalam menyelesaikan kasus Bom Bali yang telah
merenggut nyawa beberapa warga negara mereka.
- * -
... bersambung ...
baca cerita lainnya: MENJARING BUIH