Untukmu jiwa-jiwa kami,
Untukmu darah kami,
Untukmu jiwa dan darah kami,
Wahai Al-Aqsa tercinta…
(shoutul harakah)
Gelap
kian menyelimuti
langit, merambat menutupi mulai dari ujung kaki hari. Wajah-wajah dipolesi ‘krim
malam’ dengan sapuan warna kesedihan, protes, amarah juga kebencian. Alunan doa
serta ratap sedu sedan membentuk irama serupa dengungan kawanan lebah yang
berteriak marah sambil berputar-putar mengitari sarang mereka yang terbakar.
Lilin-lilin berpendar
semakin melemah, lidah api meliuk kesana kemari tak tentu arah, bertarung melawan
angin malam yang berhembus demikian garang. Kerlap-kerlip cahayanya mencoba mencairkan
jiwa-jiwa yang terlanjur dibalut oleh kebekuan.
Lilin kedua yang dinyalakannya
kini tinggal separuh saja, terus tergerus oleh aliran kepedihan. Seperti pokok
pohon sisa kebakaran di hutan yang menyisakan lelehan kelelahan. Putus asa
menunggu kapan turunnya hujan.
Ia masih bersimpuh, terpekur
diam bersama orang-orang yang juga berwajah suram. Dua tahun telah berlalu
tetapi tetap saja kenangan pahit itu belum juga mau pergi, bahkan seperti kian
menjadi. Doa dan ratapan yang ia panjatkan justru semakin membawanya pergi jauh
menembus lorong waktu kembali pada sebuah hari yang dipenuhi oleh kutukan.
* * *
SATU
11 september 2001…
Hari
kian beranjak siang, matahari bergerak semakin tinggi. Telah dua jam lebih ia duduk
di Freddo Café, di temani secangkir kopi yang isinya tinggal separuh dan
sebuah piring kosong bekas tempat sandwich_nya tadi.
Hmm…
sepuluh halaman. Lumayan!.
Jari-jarinya
yang sejak tadi tak henti menari di atas keypad sekarang bergerak
menyisir rambutnya ke belakang. Dengan kedua telapak tangannya ia mengusap wajahnya
yang sedikit memerah.
Hari
ini ia telah berhasil mengetik sepuluh halaman dan rasanya itu sudah cukup
bagus. Ia berharap novel ketiga_nya ini bisa selesai bulan depan. Itu artinya
ia tinggal membuat sebuah novel lagi sesuai kontrak yang telah disepakatinya
dengan pihak penerbit.
Tidak
biasanya… kenapa hari ini aku merasa begitu gerah?.
Kembali
ia mengusap wajah sebelum berdiri dan meregangkan tubuhnya, mencoba melancarkan
kembali aliran darah di pinggangnya. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya,
ia jadi teringat bagaimana Karen begitu sewot memarahinya tiap kali ia
mengeluhkan soal pinggangnya yang mulai sering terasa sakit.
Ia
kembali duduk dan meraih gelas kopinya, bagaimana pun ia masih membutuhkan
minuman itu untuk bisa menemaninya berpikir dan melayang.
Mungkin
nanti, sayang. Setelah novel ini terbit dan laris di pasaran, akan kucoba
menguranginya.
Sebuah
rasa rindu tib-tiba datang menyergapnya ketika ia mengarahkan pandangannya ke
pucuk Twin tower di ujung sana .
Pasti
saat ini Karen sedang sibuk dengan setumpuk berkas. Dasar workaholic!.
Tangannya
bergerak meraih telepon selular, ia ingin menelpon sebentar saja, sekedar untuk
mengobati sedikit rasa rindu yang menyergapnya. Sejenak ia diam kemudian
menyimpan kembali telpon_genggamnya.
Nanti
saja, lah!. Mungkin sekarang dia sedang sibuk memikirkan konsep untuk iklan
terbaru mereka.
Karen
memang seorang wanita yang bukan hanya cantik tapi juga pintar. Dia seperti
tidak pernah kehabisan ide brilian, iklan-iklan yang dirancangnya selalu berhasil
memukamu customer_nya. Dengan semangat dan kerja keras yang dimilikinya
tidak heran kalau karirnya begitu cepat menanjak.
Diraihnya
rokok putih yang hanya tinggal sebatang kemudian menyulutnya. Dengan setengah
terpejam ia menghisap kemudian menghembuskan asapnya perlahan. Ingatannya
melayang kepada percakapan tadi pagi sesaat setelah bercinta di subuh buta.
- * -