19
“Kau masih terlalu muda,
nak. Apalagi kau belum menikah. Akan banyak sekali godaan dan ujian keduniawian
yang akan menghadangmu. Mungkin secara pribadi kau akan kuat tapi pikiranmu
tetap saja akan terus berbenturan dengan pandangan masyarakat umum. Semoga saja
kau akan kuat, mudah-mudahan suatu saat kau akan bisa menetapi jalan itu.”
Aku masih duduk di atas
loteng memandangi langit. Angin yang bertiup semilir semakin membawaku pergi
jauh, mengenang beberapa mimpi yang kuanggap sebagai sebuah isyarat tentang
jalan hidup yang akhirnya membuatku memutuskan untuk berhenti bekerja beberapa
tahun yang lalu. Suara burung malam mengingatkanku pada seluruh pertarungan
yang berkecamuk di dalam batinku. Mengingatkanku pada kata-kata orang tua itu
ketika aku menyampaikan niatku untuk berguru.
Malam semakin larut. Aku
masih duduk tak berbaju. Memandangi bulan yang bertengger diantara pucuk kubah
masjid dan sebuah bintang. Bentuknya yang sabit terlihat bagiku lebih seperti
bibir yang tersenyum sinis mencemooh segala kelemahanku. Malam semakin dingin dan
aku semakin dibalut sejuta pertanyaan yang membeku.
* * *
John, anakku…
Saat kau baca surat ini mungkin kau sudah dewasa dan ayah
tidak ada bersamamu.
Di dalam kotak ini tersimpan dua buah benda
peninggalan kakek buyutmu yang dulu diwariskan kepada kakekmu, kemudian kepada
ayah, dan kini ayah berikan kepadamu.
Mungkin kedua benda ini tidak ada harganya tapi
ketahuilah, benda-benda ini adalah sejarah keluarga kita dan ayah ingin agar
engkau menjaganya.
John… Tahukah kau apa arti namamu? Kenapa ayah
memberimu nama John Quin? Itu juga karena alasan sejarah, nak!.
Sebenarnya namamu ayah ambil dari nama sebuah
suku bangsa besar Indian. Ya, famili nenek moyang kita termasuk dalam bangsa
besar, Algonquin.
Ayah tidak mungkin menceritakan semuanya di
sini, kau sendiri lah nanti yang harus menggalinya. Ayah hanya ingin
menyampaikan apa yang dulu juga pernah dikatakan kakekmu tentang dua benda ini,
"Kedua benda sederhana ini adalah sejarah dan jalan hidup nenek moyang
kita."
Hanya itu yang bisa ayah ceritakan. Maaf ayah
tidak bisa mengasuh dan menjagamu. Ayah sangat menyayangi kalian… tapi seorang
laki-laki mempunyai tanggung jawab untuk membela kehormatan dan harga diri juga
bangsanya.
With love
- Ayah
-
Kakek
buyut?, Algonquin?, jalan hidup?, hhh…
John menggulung surat itu dan
memasukkannya kembali ke dalam peti. Diambilnya sebuah kain putih yang masih
terlipat rapih dari dalam kotak dan membukanya.
apakah ini sebuah
selendang?.... Selendang seperti apa yang merupakan sebuah identitas dari
sebuah suku Indian? Setahuku seorang Indian selalu tampil dengan bulu-bulu di
kepala juga dengan rambut panjangnya!.
John menaruh kain itu di
pangkuannya kemudian mengambil benda lain dari dalam kotak dan mendekatkan ke
wajahnya. Sebuah tongkat tua terbuat dari kayu hitam.
Kain panjang? Tongkat kayu?
Sebesar apa arti kedua benda ini sampai-sampai menjadi barang yang begitu
bersejarah bagi keluargaku?
- * -
John masih berdiri menghadap
jendela, memandangi hutan yang tetap seperti misteri meski bulan terus mencoba
menerangi. Ia tetap terpaku, terus mencari kebenaran yang mungkin bisa didapat
dari balik kegelapan di luar sana .
Dari lantai bawah sayup
terdengar suara denting gitar yang dipetik Eddy. Iramanya terdengar seperti
nyanyian angin di tengah prairie. Sebuah lagu tentang kerinduan yang
dibalut kesunyian. Sesekali terdengar sayup seakan begitu jauh seperti
memanggil-manggil namun lebih sering melengking tinggi bagai lolongan yang
menyayat hati.
John menarik napasnya
dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Bayangan wajah bibi Anne, isi kotak
kayu, surat
peninggalan ayah dan ibunya, semua hadir silih berganti muncul dalam benaknya.
Malam semakin larut dan
sunyi. Sinar bulan menyinari danau, menimbulkan warna keperakan di
permukaannya. Denting gitar yang dimainkan Eddy terdengar semakin mendayu,
merayap bersama angin, pergi jauh menempuh jarak yang tidak lagi mampu
dijangkau oleh akal dan pikiran.
- * -
baca cerita lainnya: MENJARING BUIH
Tidak ada komentar :
Posting Komentar