(silahkan klik DISINI untuk membaca bagian pertama)
13
“Makanya,
mas. Yang semangat dong nulisnya!.”
“Iya,
sayang.”
Begitulah,
aku hanya sanggup mengiyakan setiap kali Nia bercerita dengan setengah putus
asa, tentang perjalanan hidup, kegagalan percintaan, pembuktian jati diri, juga
tentang segala pertanyaan dan protesnya kepada Tuhan.
* * *
Dengan malas John membuka matanya, rasanya baru saja sekejap ia terlelap. Hampir saja ia terjerembab jatuh saat melangkah.
“Sialan!”, John
mengumpat kesal sambil menaikkan celananya. Semalam sebelum tidur ia terpaksa
melepas ikat pinggang dan sedikit
menurunkan celananya. Perutnya yang semakin membesar terasa sesak akibat
kebiasaannya minum setiap malam.
“Ya. Hello!”,
seru John dengan intonasi tinggi.
“Hi,
John. Ini eddy.”
“Aku pikir
penerbit sialan itu. Apa kabar, Ed?. Ada
apa menelpon sepagi ini?”
“Pagi? Wah,
John. Ini jam sepuluh lebih!”
John membuka
tirai jendela, menengok keluar. Benar saja, sinar mata hari langsung menyergap
matanya.
“Ada apa, Ed?”, tanya John
sambil mengucek-ngucek matanya.
“Kapan kau akan
kesini?”
“Apa bibi
sakit?”, tanya John cepat.
“Tidak, tapi
akhir-akhir ini ibu sering melamun. Berkunjunglah kemari, John.”
“Ed, apa bibi pernah bercerita
tentang ayah dan ibuku?”, tanya John pelan.
“Sorry, John. Tapi ibu tidak pernah membahas masalah itu. Kau tahu
sendiri, bahkan soal ayah, ibu juga seperti sangat berat untuk bercerita
kepadaku. Entahlah, mungkin ibu hanya tidak ingin membuka luka lama. Jadi aku
pun tidak pernah memaksanya.”
Untuk
sesaat keduanya diam. Sama seperti dirinya, Eddy juga ditinggal pergi ayahnya
ketika ia masih kecil. Rumah dan segala yang ada di Redwood adalah peninggalan
suami kedua bibi Anne.
“setiap kali aku bertanya Ibu
hanya berpesan agar kita tidak melupakan sejarah dan tradisi kita sebagai
seorang Indian.” Eddy berkata lirih.
“Baiklah, Ed.
Salam untuk bibi, ya. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk berkunjung
kesana.”
“Thanks, John.
Sampai ketemu!”. Terdengar Eddy menutup telponnya.
John meletakkan gagang telepon lalu kembali ke sofa dengan terhuyung. Sisa
mabuk semalam maih belum sepenuhnya hilang. Sejenak ingatannya melayang kepada
sosok perempuan tua bermata teduh itu. Pertemuan terakhirnya dengan bibi Anne
adalah ia dan Karen menikah empat tahun yang lalu.
* * *
... bersambung ...
baca cerita lainnya: MENJARING BUIH