(silahkan klik DISINI untuk membaca bagian pertama)
EMPAT
John
menggeliat dan mengerjapkan matanya. Sebuah suara dan tepukan dipundak telah
membangunkannya. Ia memeriksa arloji di tangan kirinya, pukul satu dini hari.
“Sorry,
sir!. Terpaksa saya membangunkan anda. Sebaiknya tuan pulang! Hari telah
larut malam.”
Seperti
orang linglung John kembali berlutut, menghadap deretan lilin yang kini hanya
tinggal sisa-sisa.
Petugas itu hanya terdiam, berdiri dan membiarkan laki-laki
di hadapannya. Dia merasa tidak tega untuk mengganggunya, bagaimana pun peristiwa
itu memang sebuah malapetaka yang benar-benar telah mengguncang jiwa.
John
menepuk-nepuk bagian belakang jasnya, mencoba membersihkan debu yang menempel
sebelum menjabat tangan petugas yang masih berdiri di sampingnya.
“Terima
kasih telah membangunkan saya, maaf saya
telah membuat anda repot.”
“Sama
sekali tidak, pak. Itu sudah menjadi tugas saya.“
“Terima
kasih!”, John mencoba tersenyum sebelum melangkah pergi dengan langkah gontai.
“Sir!...."
John
menghentikan langkahnya.
"… Hati-hati!”.
John
hanya mengibaskan tangannya tanpa membalikkan badan. Dengan kepala tertunduk ia
terus melangkah menuju area parker di ujung sana .
Malam
menjemput pagi tanpa semangat. Dodge yang dikemudikannya merangkak pelan,
terkantuk-kantuk di atas Pearl
street yang sunyi. Sesaat kemudian mobil itu menikung ke kanan merambati State Plaza
sebelum berbelok ke kiri dan akhirnya menghilang di kegelapan.
* * *
“Halo sayang. Baru bangun ya?”.
“Iya, mas. Mas lagi ngapain?”.
“Heheee.. lagi coret-coret, bikin konsep novel.”
“Bagaimana? ‘Dah dapet banyak?”.
“Baru empat bab. Oh, ya… Nanti berangkat ke kantor jam berapa?”.
“Jam setengah delapan. Nia mandi dulu ya mas, sudah jam setengah tujuh nih. Yang semangat lho nulisnya!”.
“Iya dong, ‘kan demi masa depan kita.”
“Heheee…, bye mas!”
“Bye sayang".
Kukumpulkan kertas-kertas yang berserakan di lantai. Mataku mulai terasa berat, sejak subuh tadi tak terasa hampir tiga jam aku berkutat dengan pena dan kertas, mencoba merumuskan cerita kedalam bentuk tulisan.
* * *
baca cerita lainnya: MENJARING BUIH