bagian TUJUH
Jam di dinding terdengar berdentang tiga kali, berarti sudah satu jam lebih Afif larut dalam lamunan. Tadi ia kembali bermimpi, sebuah mimpi yang ia rasakan sungguh aneh.
Seorang laki-laki bersurban membawanya pergi. Tidak jelas ada di kota mana tapi perasaannya mengatakan bahwa ia berada di kota suci.
Afif masih mencoba meraba-raba apa sebenarnya arti dari mimpinya tadi. Apakah ada hubungannya dengan mimpinya beberapa hari yang lalu. Alunan suara alquran dari sebuah masjid menyeretnya dari tempat tidur. Dilangkahkan kakinya menuju kamar mandi kemudian berwudu. Entah kenapa malam ini tiba-tiba ia merasa rindu untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid.
* * *
Tiga putaran sudah Afif berlari mengelilingi komplek taman wisata itu. Sambil menyeka keringat dilangkahkan kakinya menuju sebuah bangku kosong yang ada di pojok paling timur.
Sore ini pengunjung tidak terlalu ramai, tempat parkir hanya di isi oleh tiga buah mobil, mungkin disebabkan karena kebetulan hari ini bukan hari libur.
Afif mengatur kembali nafasnya yang masih ngos-ngosan sambil memperhatikan dua anak kecil saling berebut bunga pinus kering. Orang tua mereka tampak mengawasi keduanya dari dalam mobil yang pintunya terbuka sambil menikmati sekaleng biskuit.
Selain mempunyai jalur trek yang bagus untuk lari atau bersepeda taman ini memiliki udara sejuk sehingga membuat orang betah duduk berlama-lama. Di setiap pojok terdapat bangku-bangku peristirahatan. Biasanya Afif memilih tempat duduk yang ada di pojok timur. Selain sepi, di tempat ini ia bisa memandang deretan pohon pinus yang ada di bukit seberang sana. Di ditengah-tengah lembah yang memisahkan kedua bukit itu terdapat sebuah sungai kecil dengan air yang mengalir jernih.
Afif mengarahkan pandangannya ke arah selatan. Di atas bukit di antara pohon-pohon tampak jelas terlihat sebuah wihara dengan warna merah menyala. Ia seperti bisa mencium aroma doa dan harapan yang terbang bersama asap dupa para pembakarnya. Beberapa hari yang lalu ia sempat menikmati suasana di sekitar wihara itu. Dari tempatnya duduk saat ini ia bisa menyaksikan tangga yang ia naiki beberapa hari yang lalu, tampak meliuk-liuk seperti tubuh seekor ular. Ia ingat waktu itu ia sampai ngos-ngosan saat menitinya. Ia sendiri tidak tahu apakah karena banyaknya anak tangga ataukah lebih disebabkan keletihan yang ada di dalam hatinya.
Angin sore berhembus menggerakkan daun-daun pinus. Sebenarnya ia tidak tahu pasti apakah angin yang menggerakan daun-daun itu atau justru gerkan daun-daun itu yang menimbulkan angin. Ia merasa daun-daun itu seperti mengipasinya, menciptakan kesejukan di dalam rongga dadanya.
Melihat daun-daun itu bergerak membuat ia seperti menyaksikan sebuah percakapan rahasia. Dicobanya menajamkan telinga untuk mendengar apa yang mereka bicarakan namun daun-daun itu sepertinya memang sengaja berbisik. Ia memejamkan mata lalu menghirup napas dalam-dalam, ia mencoba untuk menyatu ke dalam majelis mereka namun yang ia dengar justru suara hatinya sendiri.
Sebenarnya ia ingin bertanya kepada daun-daun tentang jalan hidup juga mimpi-mimpi yang selalu membayanginya. Bukannya memberi jawaban, daun-daun itu justru berhenti bergoyang.
Daun-daun pinus kini diam tak mampu lagi bersuara, karena angin tak lagi bisa menggerakkan lidah-lidah mereka. Dicobanya bertanya untuk terakhir kali, pinus-pinus menggugurkan bunga-bunga kering sebagai jawabnya.
Hari menjelang magrib saat ia mengencangkan tali sepatunya kemudian berdiri dengan sebuah keyakinan. Daun-daun pinus itu telah mengingatkan ia kepada nasihat-nasihat kak Abi, kepada ibu, kepada angin laut, kepada ombak, kepada kincir, kepada monolog-monolog yang ia rekam dalam setiap perjalanannya.
.. bersambung ...
baca cerita lainnya: TARIAN OMBAK