Bag-3
Di
pojok fakultas teknik di bawah pohon sonokeling tua, sebuah gerobak mie ayam
diam seperti terpinggirkan. Beberapa mahasiswa duduk di bangku panjang yang
disusun memutari meja kayu berukuran besar.
Setelah
meletakkan dua mangkuk mie ayam kang Asep, pemilik gerobak, duduk dan ikut terlibat
perbincangan hangat dengan pelanggannya yang istimewa. Pojokan itu memang telah
lama menjadi subuah teritori khusus
yang hanya dikunjungi orang-orang tertentu. Anak-anak menyebutnya dengan warung
ABG, angkatan babe gue.
Pelanggan
kang Asep adalah para mahasiswa tua ‘bermasalah’. Di antara mereka terdapat
beberapa mantan ‘petinggi’ senat yang terkena post power syndrome yang selalu mengenang masa-masa pergolakan
reformasi. Ada
juga mahasiswa yang ‘stres’ akibat skripsi yang tidak kunjung selesai lantaran
dosen pembimbingnya lebih sering ke proyek dari pada hadir di kampus. Bahkan
pada hari tertentu tempat ini makin riuh dengan hadirnya beberapa mahasiswa
bertitel TDD, terancam di deportasi, maklum jatah masa kuliah mereka hampir
habis.
Wajar
saja jika di tempat itu sangat jarang terdengar suara wanita. Kalau pun ada,
mereka biasanya adalah mahasiswi baru yang belum ‘melek’ kampus dan tentu saja
menjadi incaran empuk para mahasiswa gaek.
Atau sekali waktu ada beberapa mahasiswi ekonomi yang jenuh dicekoki segala
teori tentang studi pembangunan di tengah situasi krismon seperti sekarang ini, mungkn mereka ingin menghibur diri
dengan mendengarkan ocehan gila para caon ‘tukang insinyur’ yang juga pusing
dengan masa depan mereka, maklum sektor infrastruktur
juga sedang lesu.
“Wah,
Fif! Kemana aja, lama ngga’ kelihatan?”, kang Asep bangkit dari duduknya
menyalami Afif yang baru muncul.
“Pulang
kampung, kang”, Afif duduk di tempat yang tadi diduduki kang Asep kemudian
menyalami semua yang ada di meja itu.
“Mau
pesan mie atau kopi, nih?, tanya kang Asep sambil memegang pundak Afif yang
duduk di depannya.
“Kopi
aja kang, bon ya?”
“Payah!,
lama ngilang… datang-datang nge_bon!”,
kang asep tertawa tapi segera berjalan ke gerobaknya. Afif hanya tersenyum
sambil mengeluarkan tumpukan kertas dari ranselnya.
“Apaan
tuh, Fif?. Tugas akhir, ya?”, tanya bang Ijal, mantan ketua senat.
“Iya,
bang. Pak Jack ada, kan ?”
“Ada , tuh di gedung A1,
lagi ngasih kuliah. Kaya’nya elo
mesti ngebut deh! Soalnya tiga bulan
lagi pak Jack mau ke Belanda!.”
“Yang
bener, bang!. Mau ngapain?.”
“Ngambil
es tiga, katanya.”
“Wah,
gawat nih!”, afif menggaruk kepalanya yang tidak gatal, otaknya segera berputar
mencari cara mendapatkan uang untuk biaya cetak.
“Eh,
tadi si Vina nyariin tuh”, Fajar yang
sejak tadi asik memencet kalkulator kini bersuara.
“Vina?”,
Afif mencoba mengingat nama yang disebut Fajar.
“Iya,
Vina anak semester tiga. Mau konsultasi tugas gambar, katanya.”
“Jangan-jangan
naksir elo, tuh!”, Rio
nyeletuk sambil cengar-cengir.
“Udah
deketin aja, Fif. Dari pada disamber si Fajar!”, bang Ijal ikut mengompori
Afif. “Lagian siapa tau bisa ngasih spirit
biar elo ga ngacir terus dari kampus!.”
“Bener
tuh!. Jangan sampai kaya’ bang Ijal yang TDD!”, celetuk Rio
sambil melirik bang Ijal.
“Sialan
elo!, Yo”, bang Ijal sewot
melemparkan bungkus rokoknya ke kepala Rio .
Afif
senyum-senyum melihat tingkah ketiga temannya. Sebenarnya ia pernah punya cara
berpikir seperti mereka, ingin punya pacar. Apa lagi dalam masa-masa sulit
seperti sekarang ini, ia butuh seseorang yang bisa dijadikan teman curhat.
Namun bayangan kak Abi, sang murabbi,
selalu menyadarkannya. Belum lagi kalau sampai anak-anak masjid kampus tahu,
bakalan berabe.
“Sorry, gua nemuin pak Jack dulu, ya!.
Mumpung ada”, Afif segera berjabat tangan dan saling menggenggam jempol dengan
ketiga teman ‘gila’nya itu. Sambil melangkah cepat ia berteriak, “Kang, minta
sama Rio ya duitnya!”.
Kang
Asep mengacungkan jempol dari jauh sementara ketiga temannya serentak
berteriak, “Wuuuu…….!!!”.
--------------------------------
... bersambung ...
baca cerita lainnya: TARIAN OMBAK